Senin, 19 September 2011

konsep dasar allergi


ALERGI adalah reaksi seseorang yang menyimpang terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen), dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis. Alergen tersebut untuk kebanyakan orang dengan kontak atau pajanan yang sama tidak menimbulkan reaksi dan tidak menimbulkan penyakit.
Penyakit alergi adalah golongan penyakit dengan ciri peradangan yang timbul akibat reaksi imunologis terhadap lingkungan. Walaupun faktor lingkungan merupakan faktor penting, faktor genetik dalam manifestasi alergi tidak dapat diabaikan. Adanya alergi terhadap suatu alergen tertentu menunjukkan bahwa seseorang pernah terpajan dengan alergen tersebut sebelumnya.

A.    EPIDEMIOLOGI
Penyakit alergi merupakan kumpulan penyakit yang sering dijumpai di masyarakat. Diperkirakan 10-20 % penduduk pernah atau sedang menderita penyakit tersebut. Alergi dapat menyerang setiap organ tubuh, tetapi organ yang sering terkena adalah saluran napas, kulit dan saluran pencernaan (Irga, 2009).

B.     ETIOLOGI
Menurut Sastro (2009) penyebab terjadinya penyakit alergi antara lain :
·         Serbuk tanaman: jenis rumput tertentu, jenis pohon yang berkulit halus dan tipis, serbuk spora.
·         Obat-obatan: antibiotik penisilin, antikonvulsan, sulvonamid.
·         Makanan: seafood, telur, kacang panjang, kacang tanah, kacang kedelai dan kacang-kacangan lainnya, susu, jagung dan tepung jagung.
·         Binatang: sengatan insekta, bulu binatang, kecoa, debu dan kutu.
·         Zat aditif pada makanan penyedap, pewarna dan pengawet.
Sedangkan penyebab terbanyak alergi pada bayi usia 0-1 tahun yaitu makanan (susu), obat, infeksi, serangga, dan penyakit sistemik tertentu.

C.            GEJALA DAN TANDA
·         mata gatal
·         bersin-bersin, mengeluarkan ingus,
·         batuk
·         gejala sesak nafas sampai terjadi serangan asma.
·         sering pula muncul keluhan mual, muntah dan diare.
. E.  PATOFISIOLOGI
Jenis makanan tertentu, vaksin dan obat-obatan, bahan berbahan dasar karet, aspirin, debu, bulu binatang, sengatan lebah, gigitan semut api, penisilin, kacang-kacangan merupakan macam-macam zat penyebab alergi. Sel darah putih merupakan sistem imunitas tubuh paling utama. Saat suatu zat memasuki tubuh, secara otomatis seluruh jaringan tubuh akan melakukan suatu proses kompleks untuk mengenali benda asing tersebut. Sel darah putih menghasilkan antibodi spesifik untuk melawan antigen. Proses ini disebut sensitisasi. Antibodi bekerja dengan mendeteksi dan merusak substansi yang menyebabkan penyakit.  Pada reaksi alergi, antibodi dikenal sebagai immunoglobulin E, atau IgE.
Antibodi ini memerintah "para mediator" untuk memproduksi semacam zat yang mampu mengurangi kadar kimia dan hormon yang dimiliki antigen. Mediator yang umum dikenal diantaranya adalah Histamine. Mediator mempunyai efek meningkatkan aktivitas sel darah putih. Inilah yang memungkinkan terjadinya gejala yang mengikuti yang salah satunya adalah alergi. Jika hadirnya mediator dirasa sudah cukup, reaksi alergi bisa dikatakan telah berakhir. Reaksi alergi sebenarnya sebuah keunikan bagi kita. Tubuh sudah pasti akan mengenali antigen jika sewaktu-waktu akan menyerang kembali (Ahira, 2010)

Jumat, 16 September 2011

asuhan keperawatan pasien kejang demam

  1. Definisi
Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang berlebihan.(betz & Sowden,2002)
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rectal lebih dari 38ºC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
Menurut Consensus Statement on Fibrile Seizures (1980), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan kejang berulang tanpa demam.
Kejang demam adalah bangkitan kejang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38° c) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam sering juga disebut kejang demam tonik-klonik, sangat sering dijumpai pada anak-anak usia di bawah 5 tahun. Kejang ini disebabkan oleh adanya suatu awitan hypertermia yang timbul mendadak pada infeksi bakteri atau virus. (Sylvia A. Price, Latraine M. Wikson, 1995).
Kejang demam dapat diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana, yang berlangsung dari 15 menit dan umum, dan kejang demam kompleks yang berlangsung lebih dari 15 menit, fokal, atau multiple (lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam).
Jadi kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.

  1. Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan 17-23 bulan. Kejang demam sedikit lebih sering pada laki-laki.

  1. Faktor Risiko
Kejang demam pada anak diklasifikasikan berdasarkan usia anak. Kejang demam yang biasa dialami anak ialah usia 6 bulan sampai 4 tahun. Jika kejang dialami oleh anak usia lebih dari 6 tahun lebih dikategorikan sebagai kejang tanpa demam ( epilepsi ).
 Faktor resiko kejang demam pertama yang penting adalah demam. Selain itu terdapat factor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam perawatan khusus, dan kadar natrium rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih, resiko rekurensi meningkat dengan usia dini, cepatnya anak mendapatkan kejang setelah demam timbul, temperature yang rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat epilepsy.

  1. Etiologi
Etiologi kejang demam hingga kini belum diketahui dengan pasti. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernapasan atas, otitis media, pneumonia, gastroenteritis, dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul pada suhu yang tinggi. Kadang-kadang yang tidak begitu tinggi dapat menyebabkan kejang.
            Konvulsi jauh lebih sering terjadi dalam 2 tahun pertama dibanding masa kehidupan lainnya. Cedera intrakranial saat lahir termasuk pengaruh anoksia dan perdarahan serta cacat kongenital pada otak, merupakan penyebab tersering pada bayi kecil.  Pada masa bayi lanjut dan awal masa kanak-kanak, penyebab tersering adalah infeksi akut (ekstra dan intrakranial). Penyebab yang lebih jarang pada bayi adalah tetani, epilepsi idiopatik, hipoglikemia, tumor otak, insufisiensi ginjal, keracunan, asfiksia, perdarahan intrakranial spontan dan trombosis, trauma postnatal,dan lain-lain.
            Mendekati pertengahan masa kanak-kanak, infeksi ekstrakranial akut semakin jarang menyebabkan konvulsi, tapi epilepsi idiopatik yang pertama kali tampil sebagai penyebab penting pada tahun ketiga kehidupan, menjadi faktor paling umum. Penyebab lain setelah masa bayi adalah kelainan kongenital otak, sisa kerusakan otak akibat trauma, infeksi, keracunan timbal, tumor otak, glomerulonefritis akut dan kronik, penyakit degeneratif otak tertentu dan menelan obat.
  1. Patofisiologi

Peningkatan suhu tubuh yang tinggi dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit ) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang dikemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak hingga terjadi epilepsi.
  1. Klasifikasi
1.         Kejang parsial ( fokal, lokal )
a.       Kejang parsial sederhana :
      Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :
·            Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh; umumnya gerakan setipa kejang sama.
·            Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
·            Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
·            Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.

b.      Kejang parsial kompleks
·            Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks
·            Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap – ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
·            Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku

2.         Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )
a.       Kejang absens
·            Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
·            Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik
·            Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuh
b.      Kejang mioklonik
·            Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.
·            Sering terlihat pada orang sehat selama tidur tetapi bila patologik berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
·            Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
·            Kehilangan kesadaran hanya sesaat.

c.       Kejang tonik klonik
1.      Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit
2.      Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3.      Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4.      Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal

d.      Kejang atonik
1.      Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.
2.      Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

  1. Manifestasi Klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonikklonik bilateral. Bentuk kejang yang lain dapat juga terjadi seperti mata yang terbalik keatas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.

Sebagian besar kejang berlangsung kurang dari 6 menit dan kurang dari 8% berlangsung lebih dari 15 menit. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa deficit neurologis. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering terjadi pada kejang demam yang pertama.
Kejang demam biasanya berlangsung beberapa detik atau menit. Kadang-kadang sampai 15 menit. Tetapi kebanyakan hanya berlangsung hanya dua atau tiga menit. Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :
1.                  Anak hilang kesadaran
2.                  Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak
3.                  Sulit bernapas
4.                  Busa di mulut
5.                  Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6.                  Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.
Setelah kejang, anak akan mulai berangsur sadar. Biasanya, kesadaran pulih sepenuhnya setelah 10 sampai 15 menit. Dalam masa ini, anak agak sensitif (irritable) dan mungkin tidak mengenali orang di sekitarnya.
Gejalanya berupa:
ü    Demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang tejradi secara tiba-tiba)
ü     Kejang tonik-klonik atau grand mal
ü    Pingsan yang berlangsung selama 30 detik-5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam)
ü    Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung selama 10-20 detik)
ü    Gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2 menit)
ü    Lidah atau pipinya tergigit
ü    Gigi atau rahangnya terkatup rapat
ü     Inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya)
ü    Gangguan pernafasan
ü    Apneu (henti nafas)
ü    Kulitnya kebiruan.

Setelah mengalami kejang, biasanya:
ü    Akan kembali sadar dalam waktu beberapa menit atau tertidur selama 1 jam   atau lebih , terjadi amnesia (tidak ingat apa yang telah terjadi)
ü    sakit kepala
ü    mengantuk
ü    linglung (sementara dan sifatnya ringan).
ü    Jika kejang tunggal berlangsung kurang dari 5 menit, maka kemungkinan terjadinya cedera otak atau kejang menahun adalah kecil.

3.      Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik focus :
1.      Periksa adanya penurunan kesadaran.
2.      Kaji jenis kejang, apakah kejang bersifat parsial atau umum.
3.      Periksa tipe gerakan pada bagian tubuh yang terkena
4.      Periksa ukuran kedua pupil. Apakah mata terbuka? Apakah mata dan kepala berputar ke salah satu sisi?
5.      Apakah terlihat adanya gerakan otomatis (aktivitas motorik yang tidak disadari seperti bibir mengecap atau menelan berulang)?
6.      Periksa gerakan pada akhir kejang
7.      Periksa adanya inkontinensia urine atau feses.
8.      Kaji durasi setiap fase kejang
9.      Periksa kondisi adanya paralisis yang nyata atau kelemahan pada lengan setelah kejang.
10.  Periksa adanya ketidakmampuan untuk berbicara, kelemahan dan konfusi setelah kejang.

4.      Pemeriksaan Diagnostik
a.       Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
b.      Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
c.       Magneti resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang tidak jelas terlihat bila menggunakan pemindaian CT.
d.      Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau aliran darah dalam otak.
e.       Uji laboratorium
·         Pungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
·         Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
·         Panel elektrolit
·         Skrining toksik dari serum dan urin
·         GDA
·         Kadar kalsium darah
·         Kadar natrium darah
·         Kadar magnesium darah
f.       Pemeriksaan Penunjang
Pemerikasaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi-bayi kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga fungsi lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurakan untuk yang berumur 18 bulan. Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang mempunyai nilai prognostic. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsy atau kejang demam berulang dikemudian hari, Pada sast ini pemeriksaan EEG tidak dianjurkan untung pasien kejang demam sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak di anjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi.
5.      Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak menyebabkan kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25-50%, umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Risiko untuk mendapatkan epilepsy rendah.
  1. Therapy/tindakan penanganan dan Penatalaksanaan
Ada tiga hal yang perlu dikerjakan, yaitu : pengobatan fase akut, mencari dan mengobati penyebab serta pengobatan prolaksis terhadap berulangnya kejang demam.
1.      Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu ,pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan kompres air hangat dan pemberian antiperetik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan intravena atau intarektal. Dosis diazepam antravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan pemakean,tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit, gunakan diazepam intrarektal 5mg (BB<10kg) atau 10mg (BB>10kg).  Bila kejang tidak berhenti dapat diulang selama 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fetoin dengan dosis awal 10-20 mg/kgBB/menit. Setelaaaaaaaaah pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis kerena fenitoin bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.

2.      Mencari dan mengobatan penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya ada gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.

3.      Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu: 1. Profilaksis intermiten saat demam. 2. Profolaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari.

Untuk profolaksis  intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg ( BB<10kg) dan 10mg (BB>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih dari 38,5º C . Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.

Prolaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya epilepsy dikemudian hari. Profolaksis terus-menerus setiap hari dengan fenorbarbital 4-5 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilakasis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profolaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau 2) yaitu :
1.      Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
2.      Kejang demam lebih lama dari 15 menit,fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap.
3.      Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kamdung.
4.      Bila kejang demam terjadi bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi kejang multiple dalam satu epidose demam.

Bila hanya memenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang, maka berikan profolaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral atau rectal tiap 8 jam disamping antipiretik.